Penampilan, Wujud Kemandirian

Sabtu dan Minggu. Dua hari tenang–sah-sah saja–untuk rehat dari segala hal. Kalaupun ditambah dengan jalan – jalan, rasanya, tidak diharamkan. Tapi, jika menjadi kantung curahan hati seorang teman, bagaimana ?. Inipun boleh dan hukumnya membahagiakan jika bisa memberi masukan positif padanya.

Ya, sekitar dua pekan yang lalu, seorang teman lama tiba-tiba bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bukan sebuah masalah besar, tapi cukup membuatnya harus berkunjung ke rumah selama hampir 1 jam. 

“Aku kesal, masak, hanya karena urusan model baju, suamiku mendiamkan selama 3 hari,” keluh Dina (sebut saja begitu namanya), seorang desain grafis lepas. Padahal, menurut Dina, baju itu terlihat pas di pakainya. “Aku jadi terlihat modis, karenanya,” terang wanita bertubuh mungil itu. Sembari menunjukkan baju berwarna merah yang berpotongan leher rendah dan berbahan agak tipis, Dina bersungut-sungut.

“Lho, itu, kan, tanda kalau suamimu sayang dan perhatian,” ujarku sekenanya. Bukan penyadaran yang kuteriman, namun,” Ah, sayang, kok, begitu caranya. Kalau mau sayang, ya, bilang saja.” Semua alibi positif yang kusampaikan, masuk telinga kanan, lalu keluar telinga kiri. Bagi wanita yang baru menjalani pernikahan 2 bulan itu, mengatur model baju sama halnya mengatur hidupnya pula.

Belum selesai dengan satu teman, teman lain pun memiliki masalah serupa. Sebut saja, Ira. Sahabatku ini adalah seorang ibu rumah tangga yang punya usaha salon. “Aku sudah ikuti semua keinginannya sejak 5 tahun yang lalu, mulai dari tinggal di rumah sampai urusan penampilan,” cerita Ira tentang aturan domestik yang diterapkan di rumah tangganya. Tapi, lanjut Ira, kini ia telah menyadari bahwa semua itu tekanan baginya. 

Cerita diatas hanyalah satu dari sekian kisah yang dialami oleh para wanita masa kini. Pernah, seorang ibu rumah tangga–sebelah rumahku–menyebut terpaksa harus selalu mengikuti selera sang suami lantaran merasa mendapat gaji–nafkah bulanan–dari suami. “Kan, uangnya, dia. Jadi, lebih baik dia yang pilihkan,” begitu kira-kira alasannya.

Ironis, di era yang–katanya–penuh emansipasi ini, ternyata perilaku membatasi sekaligus menguasai kemandirian seorang wanita terus terjadi. Berpakaian adalah hak asasi setiap manusia di belahan bumi manapun. Sandang merupakan kebutuhan primer utama yang sejajar dengan pangan dan papan. Karena itu, pengaturan model pakaian dengan alasan implementasi perhatian suami hingga dibelikan–dari nafkah–suami, tidaklah sepenuhnya tepat.

Bagaimanapun, setiap manusia memiliki kebutuhan merasa nyaman dan aman. Pun, terhadap pakaian yang dipakainya. Jika seseorang tidak merasa nyaman, maka ia akan sulit untuk mengembangkan diri. Jangankan mengembangkan diri, mengenal dirinya pun sulit. Akibat terparah, kepercayaan diri terhadap pribadinya akan menurun sebab ia harus menjadi diri orang lain–notabene menjadi yang diinginkan suami.

Seharusnya mengarungi kehidupan rumah tangga adalah sebuah kompromi dua karakter. Karena itu, alangkah naif jika pilihan berpenampilan salah satu pihak dikendalikan oleh pihak lainnya. Betapa bijak, jika sebuah formula baru dalam hal berpenampilan baik suami maupun istri dapat disepakati bersama.

Bagaimanapun berpakaian sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku dan kenyamanan pribadi adalah mutlak bagi sebuah kemandirian. Tak terkecuali, bagi seorang wanita yang di tangannya memegang tanggung jawab moral sebagai seorang Ibu.

Surat kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902,  “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” 

Kutipan surat Kartini diatas menegaskan peran wanita tidak hanya sebatas menyenangkan hati suami saja, namun juga harus dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya. Perubahan penampilan yang dilakukan oleh seorang perempuan harus berdasar kesadaran dan proses. Sebab, di tangannya-lah akan terbentuk anak-anak yang tangguh, mandiri dan percaya diri.

#

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *