Luka Itu Belum Sembuh (bagian 3)

Cerita sebelumnya di sini dan di sini

Genap seminggu terlewati, Ryan mengisi kekosongan hari tanpa Tantri. Jika biasanya sehari bisa 3 kali telepon ataupun SMS, kini ritual itu tak lagi ia lakukan.Adayang hilang. Ya, Ryan menyadari hal tersebut. Tapi, ia berusaha mengubur dalam-dalam kenangan bersama Tantri.

          Ryan mencoba mengalihkan perhatiannya pada ruang di sudut lantai 2, Perpustakaan Kampus. Di sanalah Ryan memulai harinya. Jika tidak masuk kelas, Ryan pasti berada disana. Kursinya pun tidak berpindah-pindah. Selalu di bangku deretan pertama, dekat jendela.

          Tidak ada yang tahu mengapa kursi yang panas terkena terik matahari pagi itu menjadi pilihannya. Hanya Ryan seorang yang paling paham. “Di sini aku bisa melihat Tantri dari kejauhan. Biasanya dia memang duduk di bawah pohon sawo kecik sebelah kantin bersama Nia dan Din, kedua sahabatnya,” pikir Ryan dalam hati.

          Ryan jelas-jelas tak mampu menguasai diri, saat suatu hari dilihatnya Tantri telah pulang dariBeijing. Kemilau rambut hitamnya berhasil menyilaukan mata Ryan. Termasuk tatap mata sendu Tantri padanya.

          “Aduh…Tantri melihatku,” Ryan mengeluh dalam hati. Seandainya Ryan dapat mencopot kepalanya terlebih dahulu, ia akan lakukan itu sekarang juga. Tapi tidak mungkin. Sudah terlanjur. Ryan hanya tersenyum kecut. Sekecut rasa di hatinya.

          Mengetahui keberadaannya diketahui Tantri, buru-buru Ryan mengayunkan langkahnya untuk pulang ke kos. Sayang, langkah Ryan terhalang oleh sapaan khas dan senyum meneduhkan Tantri.

          “Kak Ryan mau pulang ke kos, ya. Temani Tantri makan bakso Pak Min dulu, yuk. Tenang, Tantri yang traktir, deh. O iya, ini oleh-oleh dari Kejuaraan Volly kemarin,” ujar Tantri sembari menyerahkan sebuah boneka panda khasChina.

          Tiba-tiba tatapan dingin ditunjukkan Ryan. Ia yang tadinya ingin bersikap jantan dengan tidak memperlihatkan rasa kekecewaannya, kini berubah 180 derajat. Istilah yang membuat perutnya mual itu kembali disebut-sebut. Malah Tantri terlihat begitu bahagia mengucapnya.

          Brak… Tanpa sengaja Ryan menabrak kursi yang berada dekat loker perpusatakaan. “Aku pulang dulu. Terima kasih hadiahnya, simpan saja buat yang lain,” buru-buru Ryan meninggalkan Tantri dengan langkah tertatih.

          Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh Ryan. Ia tahu tubuhnya lemas dan kakinya tidak bisa bergerak cepat, tapi adrenalinnya terus mengalir kencang. Ini mengharuskan Ryan untuk bergegas menjauh dari wanita yang selama lebih dari 2 bulan mengisi hari-harinya. Selamat tinggal, Tantri.

(bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *