Tanggung Jawab Milik Bersama

Wanita yang mulia adalah wanita yang setia. Laki-laki yang tangguh adalah yang bertanggungjawab. Dua kalimat lugas ini menjadi dasar seorang muslim menempatkan perannya dalam menjalani kehidupan sosialnya di masyarakat. Dan kesemuanya itu telah diatur dalam panduan hidup muslim manapun dengan mengacu pada Al Qur’an dan Hadist.

Yang menarik, pernyataan di atas terlontar dari seorang Profesor Burhan Bungin. Salah seorang guru besar dan penulis buku Sosiologi Komunikasi yang karyanya banyak dianut oleh mahasiswa komunikasi di seluruh Indonesia. Bahkan, entah sudah kali ke berapa bukunya tersebut telah mengalami pencetakan. Karena itulah, setelah berbulan-bulan vakum menulis, tema ini menjadi menarik untuk kembali saya ulas.

Sebagai seorang perempuan muslim yang mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan ilmu komunikasi sekaligus ibu dari 2 anak—saat ini duduk sebagai mahasiswi pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana semester 2—apa yang disampaikan oleh Prof Bungin diatas menggelitik saya pribadi untuk memahaminya lebih jauh. Benarkah bahwa laki-laki dalam Islam hanya dituntut untuk bertanggung jawab? Sementara perempuan hanya dalam porsi setia untuk mencapai sebuah kemuliaan. Benarkah pembagian peran keduanya tersebut?

Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba mengungkapnya dalam sudut pandang Teori Sosiologi Modern George Ritzer dan Douglas J. Goodman, tahun 2004 edisi keenam. Namun sebelum membedahnya lebih jauh, penulis coba mendudukkan pertanyaan-pertanyaan diatas dari sudut kacamata Islam terlebih dahulu terhadap kesetaraan gender.

Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam “Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender yang ada di Qur’an, yaitu:

1.

Perempuan dan laki-laki sama sebagai hamba Alloh. Menurut QS Al-Zariyat (51:56). Tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Yaitu,yang bertaqwa (mutaqqun) seperti yang tersebut dalam QS.Al Hujurat (49:13)

2.

Perempuan dan laki-laki sebagai khalifah di bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (kahlifah fi al’ard) ditegaskan dalam QS. Al An’am (6:165) dan dalam QS Al Baqorah (2:30). Khalifah tidak menunjuk pada satu jenis keamin tertentu. Artinya baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi sama sebagai khalifah.

3.

Perempuan dan laki-laki menerima perjanjian awal dengan Alloh SWT. Alloh memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin (QS. AL Isra 17:70)

4.

Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Disini selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma) yaitu terdapat dalam :

a.

QS Al Baqarah / 2:35 , keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga.

b.

QS Al A’raf/ 7:23, sama-sama memohon ampun dan diampuni Alloh SWT

c.

Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi meraih prestasi, terdapat pada QS Ali Imran/ 3:195; QS An Nisa/ 4: 124 dan QS An-Nahl/ 16: 97.

Peran perempuan maupun laki-laki punya keutamaan masing-masing dalam Islam.  Dalam ajaran Islam, memberi nafkah kepada istri dan anak dimasukkan ke dalam kategori ibadah. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya,” Engkau tiada memberi belanja demi mencari ridha Allah, melainkan pasti diberi pahala, sekalipun yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu (HR.Bukhari Muslim).

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda,” Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Alloh dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk isterimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu (HR. Bukhari Muslim).

Wanita memiliki kehormatan tertinggi tersediri. Tidak ada kewajiban bagai mereka untuk mencari nafkah. Bukan berarti wanita lemah, tetapi ini adalah penghormatan Islam kepada wanita terhadap tugas mereka yang sangat vital yaitu sebagai ibu dari anak-anaknya. Melalui tangan ibu—bukan ibu pengasuh—dapat terdidik anak yang sholeh dan solehah.

##

Usai memahami peran perempuan dari sisi kacamata Islam, berikutnya penulis mencoba mengintip dari sisi kacamata Sosiologi. Peran perempuan sebagai ibu dalam keluarga, sebenarnya bukan sekedar mengurus rumah tangga. Menjadi Ibu dan istri dari seorang laki-laki tidak berarti harus melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia dapat saja melakukannya sendiri atau menyerahkannya pada orang lain atau yang lazim disebut Asisten Rumah Tangga (ART).

Apa yang dilakukan seorang perempuan di rumah tangga adalah sebuah bagian dari pekerjaan lain yang ada di dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hal ini berarti pekerjaan rumah tangga yang dilakukan seorang Ibu, bisa menjadi satu dari sekian pekerjaan lainnya.

Pemikiran diatas sesuai dengan teori fungsionalisme gender yang menempatkan fungsi yang berbeda dari lembaga ekonomi dan lembaga “publik” lainnya. Keluarga berperan penting dalam memperkukuh ikatan sosial dan memproduksi nilai (integrasi dan pemeliharaan pola).

Menurut Teori Fungsionalisme Gender, yang sangat penting bagi teoritisi fungsional untuk memahami masalah gender adalah aplikasi Johnson atas konsep Parsons seperti peran ekspresif versus instrumental, tesisnya tentang hubungan lembaga keluarga dengan lembaga sosial lain, dan modelnya tentang masyarakat fungsional. Johnson banyak menempatkan asal usul ketimpangan jender dalam struktur keluarga patriakis yang ditemukan di seluruh masyarakat.(hal.409)

Pemahaman bahwa perempuan harus bekerja di rumah tangga, menurut Johnson, lebih banyak dikemukakan oleh struktur keluarga patriarkis. Disini pula kemudian fungsi wanita dalam keluarga lebih diorientasikan ke arah penekanan perasaan kasih sayang (expresiveness) dan mempengaruhi fungsi mereka dalam seluruh struktur sosial lainnya, terutama ekonomi. Bahkan pada lapangan pekerjaan yang didominasi pria pun diharapkan mengedepankan perasaan (expressive) namun dalam waktu bersamaan menerima sanksi karena orientasi ini. Seringkali dianggap “Ganjen atau Genit ”oleh lingkungannya.

Di Indonesia sendiri yang pusat pemerintahannya di Jawa dan masih didominasi kultur Jawa menjadikan stratifikasitersendiri bagi perempuan yang memiliki pekerjaan di luar rumah tangganya.

Rumah tangga (keluarga) tidak dipandang sebagai bidang yang berada di luar area pekerjaan—emosi dan pemeliharaan—tapi dipandang sebagai tempat berlangsungnya pekerjaan—perawatan anak, mengurus rumah tangga dan kadang-kadang juga bekerja (seperti pada keluarga petani) yang menghasilkan hadiah (reward) material atau penghasilan tambanhan bagi rumah tangga. (hal.409)

Kondisi tersebut diatas menjelaskan adanya teori konflik analitik (pendekatan Chafetz) yang menyebutkan adanya lintas kulitural dan lintas historis yang mencoba merumuskan teori gender dalam seluruh pola-pola kemasyarakatan khusunya. Sebagai pusat perhatian ada pada masalah ketimpangan gender yang disebutnya sebagai stratifikasi jenis kelamin (seks).

Hal ini meliputi variabel differensiasi peran menurut jenis kelamin, ideologi, patriarkis, prganisasi keluarga dan pekerjaan, dan kondisi pemisahan rumah tangga dan tempat kerja, surplus ekonomi, kecanggihan teknologi, kepadatan penduduk, dan kekerasan lingkungan. Kesemuanya itu menentukan struktur kunci rumah tangga dan produksi ekonomi serta derajat perpindahan wanita antara bidang rumah tangga dan produksi ekonomi. Menurut Chafetz, wanita mengalami kerugian paling sedikit bila mereka dapat menyeimbangkan tanggung jawab rumah tangga dan kebebasan berperan dalam produksi ekonomi secara signifikan.

Dengan demikian, pemikiran terhadap peran seorang ibu dalam rumah tangga mulai bergeser menjadi sebuah kekebasan berperan dalam produksi ekonomi secara signifikan. Artinya, perempuan dalam satu lingkup sosial masyarakat mulai mengalami perpindahan dari bidang rumah tangga menjadi produksi ekonomi. Dengan demikian, ibu yang notabene adalah perempuan harus mempunyai pekerjaan selain bekerja di rumah tangga.

Terlebih jika dipandang dari sisi teori sistem dunia. Teori ini memandang kapitalisme global seluruh fase historisnya sebagai sebuah sistem untuk dijadikan sasaran analisis sosiologi. Karena yang telah ditetapkan sebagai sasaran studi teori ini adalah kapitalisme, maka individu di seluruh unit-unit sosial secara khas dipahami menurut peran mereka dalam sistem kapitalis untuk menciptakan nilai lebih.(hal.411)

Dengan demikian, teori ini secara khas hanya memahami peran wanita dalam sistem sosial sebatas tenaga kerja wanita yang menjadi bagian kapitalisme—yakni ketika wanita bekerja dalam proses produksi dan pasar kapitalis.

Kehidupan sosial di masyarakat hanya bisa disokong oleh perempuan jika ia mengambil peran dalam bagian kapitalisme. Yaitu, sebagai tenaga kerja wanita.  Jika perempuan bekerja—di luar pekerjaannya mengurus rumah tangga—maka ia memiliki tanggung jawab juga terhadap pekerjaannya

Tanggung jawab yang dimaksud yaitu sebagai tenaga kerja wanita yang terkait dengan proses produksi maupun pasar kapitalis. Bagaimana perempuan harus memenuhi target pekerjaan maupun karirnya secara profesional. Dan hal ini, tentu, tidak bisa dilepaskan dari segi tanggung jawab.

Pun, dalam kaitan perannya di organisasi maupun kehidupan sosial lainnya. Kathryn B.Ward menyatakan (1) sistem dunia tidak dapat dipahami kecuali bila tenaga kerja rumah tangga dan sektor informal diperhitungkan dalam analisis, dan (2) karena proporsi wanita banyak terdapat di kedua sektor tersebut diatas maka wanita perlu mendapat perhatian khusus dalam teori sistem dunia dan tak cukup hanya digabungkan di bawah judul “tenaga kerja” saja.

Sekitar 66% tenaga kerja dunia bekerja di kedua sektor diatas atau disebut juga dengan sektor nonkapitalis. Apabila dihubungkan dengan peran wanita dalam teori sistem dunia maka pera sektor nonkapitalis (wanita) yang berdampingan, berkembang dan berinteraksi dengan kapitalisme global (Ward). (hal 412)

Kontra dengan pernyataan bahwa yang dituntut bertanggung jawab adalah laki-laki, menurut penulis, tidaklah sepenuhnya tepat. Perempua berhak menjadi manusia ideal sama halnya dengan laki-laki. Dan perempuan juga memiliki hak yang sama untuk menjadi khalifah di muka bumi. Perempuan juga memiliki tanggung jawab dalam konteks sebagai pekerja di luar kerja rumah tangganya. Apakah itu dalam kehidupan sosial, organisasi maupun karir pribadinya.

Kompensasi dari bekerja di luar rumah tangganya berupa penghasilan sendiri, bukan pula menjadi tameng  bagi nafkah keluarga. Penghasilan yang diterima perempuan, tetap bukanlah nafkah keluarga. Tanggung jawab menafkahi—menurut Islam—tetap milik laki-laki. Namun tanggung jawab terhadap pekerjaan di luar rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan, tetap milik perempuan itu sendiri.

Penghasilan yang didapat oleh seorang perempuan saat bekerja di luar rumah tangganya  hanyalah sebuah kompensasi dari guliran tanggung jawab utamanya sebagai bagian dari masayarakat. Artinya, jika kemudian nominalnya lebih besar dari penghasilan laki-laki mnjadi persoalan lain.

Nilai nafkah yang notabene sering dikaitkan dengan jumlah rupiah, tidak melulu menjadi hak mutlak bagi seorang laki-laki. Wanita kerapkali justru memiliki potensi penghasilan yang lebih besar  daripada laki-laki. Penghasilan yang besar, tentu, menuntut tanggung jawab yang besar pula.

Bagi seorang muslimah, tanggung jawab yang semakin besar dalam kehidupan sosialnya di masyarakat (termasuk pekerjaan) harus sejurus pula dengan penghormatan yang diberikan oleh Islam kepadanya. Yaitu, tugas perempuan yang sangat vital yaitu sebagai ibu dari anak-anaknya. Di tangan Ibu, anak-anak akan terdidik sebagai anak sholeh dan sholehah.

Dengan demikian tanggung jawab di luar pekerjaan rumah tangga seorang perempuan dituntut utuk tidak berbenturan dengan tugasnya sebagai ibu. Jika kemudian pada akhirnya terjadi ketidakselarasan diantara keduanya, Islam akan mengangkat perempuan dengan memaksa laki-laki—notabene suami—untuk menjalankan tanggung jawab menafkahi anak dan istrinya. Dan wanita kembali mengambil peran utamanya sebagai pendidik anak-anak dalam keluarganya.  

##

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *